JURNALPOST, Jakarta – Seiring pemulihan ekonomi yang tetap kuat dan berlanjut di tahun 2022, target defisit fiskal APBN 2022 diturunkan dari target awal sebesar 4,85% menjadi 4,50% PDB pada Perpres 98/2022.
Dalam siaran pers disebutkan, hal itu menunjukkan komitmen Pemerintah untuk menuju “soft landing” di tahun 2023. Realisasi APBN sampai akhir Juni 2022 mencatat surplus 0,39% terhadap PDB.
Namun demikian, tambah Kemenkeu, dengan perkembangan ekonomi dan kinerja APBN yang semakin baik, terutama dari sisi pendapatan negara yang meningkat tajam, defisit fiskal di akhir tahun 2022 diproyeksikan dapat kembali turun menjadi lebih rendah dari pada target Perpres 98/2022.
Penurunan defisit APBN itu membawa konsekuensi pada pembiayaan anggaran dan pembiayaan utang yang juga mengalami penurunan.
Sehingga penyesuaian tersebut menunjukkan upaya APBN untuk adaptif dan responsif menghadapi risiko global sekaligus menjaga kesinambungan APBN untuk konsolidasi fiskal tahun 2023.
Lebih jauh dijelaskan, pembiayaan APBN tetap mengedepankan prinsip prudent, fleksibel, dan oportunistik. Realisasi Pembiayaan Utang sampai akhir Juni 2022 mencapai Rp191,9 triliun (20,3% dari target APBN Perpres 98/2022), turun 56,9% dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu.
Realisasi tersebut berasal dari Surat Berharga Negara (Neto) sebesar Rp182,4 triliun dan Pinjaman (Neto) sebesar Rp9,5 triliun. Pemerintah tetap mengutamakan penerbitan SBN domestik, antara lain melalui penerbitan SBN Ritel sebagai upaya berkelanjutan untuk meningkatkan partisipasi investor domestik.
Meski dengan target yang tinggi, penerbitan SBR011 pada bulan Juni mengalami oversubscribe hingga 2,78 kali dari target awal sebesar Rp5 triliun dan memperoleh Rp13,91 triliun dari 46.673 investor.
Selain itu, SWR003 yang baru ditutup pada Juli ini mencatat penjualan terbesar sepanjang sukuk wakaf ritel dengan total Rp38,5 miliar. Di tahun 2022, Pemerintah melanjutkan implementasi SKB I dan III, sekaligus sebagai tahun terakhir pelaksanaan SKB.
SKB I di mana BI sebagai standby buyer telah tercapai sebesar Rp32,24 triliun sementara realisasi SKB III yang diterbitkan pada akhir Juni mencapai Rp21,87 triliun. Selain itu, realisasi PPS untuk investasi SUN tercapai sebesar Rp1.057 triliun dan USD11,84 juta, serta SBSN sebesar Rp135,3 miliar.
Menghadapi peningkatan risiko global, Kemenkeu menyebutkan bahwa Pemerintah telah melakukan beberapa penyesuaian strategi pembiayaan melalui utang di tahun 2022.
Penyesuaian itu antara lain: (i) Optimalisasi SBN domestik, terutama melalui SBN Ritel yang ditargetkan tetap tinggi serta optimalisasi pendanaan SKB III pada Kuartal III 2022; (ii) Penyesuaian target lelang SBN dan SBN valas; serta (iii) fleksibilitas pinjaman program.
Disisi lain Kemenkeu menyatakan, risiko global meningkat akibat tekanan inflasi tinggi yang berkepanjangan dan diikuti pengetatan kebijakan moneter di berbagai negara. Hal ini menyebabkan peningkatan volatilitas dan tekanan di pasar keuangan serta penurunan prospek pertumbuhan global.
“Indonesia harus tetap menjaga agar perekonomian domestik kita berdaya tahan. Dan tentu surplus APBN yang terjadi pada semester I, baik pada pendapatan negara yang tumbuh sangat signifikan yaitu pajak, bea dan cukai serta PNBP, dijadikan bantalan atau bekal untuk menghadapi ketidakpastian yang makin tinggi di semester II,” kata Menkeu dalam konferensi pers, di Jakarta (27/07).
Di sisi domestik, perekonomian masih resilien namun perlu waspada di tengah gejolak global akibat potensi resesi dan fenomena stagflasi. Fundamental ekonomi Indonesia ditopang oleh sektor eskternal yang sehat, tekanan inflasi yang relatif lebih moderat serta kinerja fiskal yang kuat.
“APBN akan tetap menjadi instrumen yang luar biasa penting untuk menjadi shock absorber, memperbaiki kinerja ekonomi, menjaga rakyat kita, dan itu berasal dari penerimaan pajak, dari penerimaan komoditas, dari bea dan cukai, dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP),” tambah Menkeu Sri Mulyani Indrawati.
Sedangkan surplus APBN ditopang Pendapatan Negara yang tumbuh signifikan dan Belanja Negara yang ontrack dengan outlook defisit lebih rendah dari target. Untuk itu perlu diantisipasi tambahan belanja subsidi dan kompensasi serta pengelolaan pembiayaan yang hati-hati dan efisien.
Sebagai instrumen penting melindungi rakyat dari dampak kenaikan harga pangan dan energi global, APBN terus dipertahankan sebagai shock absorber dan pendukung konsolidasi fiskal.
Baca juga:
Kemenkeu: Pendapatan Negara Tumbuh Signifikan
APBN Hadir sebagai Shock Absorber Dampak Peningkatan Resiko Global
Kemenkeu menegaskan, respon tepat dan cepat dalam menghadapi ketidakpastian global menjadi keharusan agar APBN 2022 tetap kuat, sehat, dan menjadi instrumen kebijakan yang sustainable dan kredibel.
Penulis: Micky Wijaya
Editor: Djali Achmad